Sunday, November 23, 2014

Ada Apa dengan Tinta

Konon, Thales adalah manusia Yunani pertama yang didaulat dunia sebagai pencetus bagaimana melembaga pengetahuan. Lewat instrumen air yang dianggapnya zat utama sumber kehidupan, hingga kini, telah berkembang ribuan skripsi, tesis, bahkan desertasi akan apa yang pernah diungkap sang Tales.
Bayangkan, jauh sebelum Masehi telah ada Thales yang gelisah mempertanyakan hakikat segala sesuatu.
Apa yang dilakukan Tales tentu biasa saja bagi mereka yang setiap waktu bergelut dengan apa itu kebenaran, namun tidak biasa, bagi mereka yang terjebak akan rutinitas kehidupan yang kian hari kian akut. Sederhana, “besok anak istri gw mau makan apa nih”, mana sempat orang yang selalu mengungkap kata ini untuk berfikir ala Thales, boro-boro ngomongin hakikat, habitatnya saja seminggu sekali diajak ngomong.
Ada lagi: “wah bulan depan pacar gw ulang tahun, mau gw  kasi kado apa yah”, tentu saja pengungkap kata ini akan lebih mementingkan kelanggengan hubungan dengan sang pacar, ketimbang memikir, mengapa mereka sebenarnya bisa saling memberi di hari ulang tahun.
Banyak, dan logikanya sederhana, kerumitan dunia melupakan manusia akan hakikat mengapa mereka ditaruh di atas bumi yang tidak kotak ini.
Beberapa hari yang lalu, gw berdebat seolah sengit dengan lawan diskusi klasik gw, teman lama waktu SMA, pun kami sebangku juga di Universitas al-Azhar. Namanya Awal, gw manggil dia Socrates karena dia lebih dulu melahap filsafat dibanding teman2 yang lain.
Lewat Facebook, Awal message gw, nanyain gw soal kebijakan Bapak Presiden dia menaikkan harga BBM. Sedikit basa-basi gw ga langsung ke topik inti,
“gimana kepala ente udah mengecil? Apa makin membesar? haha”
Kalimat seperti itu adalah bully-an khas gw ke Awal, dia memang berpostur agak aneh namun unik, kepalanya lumayan besar untuk akuran manusia-manusia normal. Tapi bukan kepalanya, isinya mewakili sebuah kepala anak manusia yang doyan berdialektik.
“apa positifnya kenaikkan harga BBM” *Awal menimpali dengan nada serius dan sepertinya kesal*
“menjelaskan hal tersebut secara mikro, maka kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan Wal”
“maksud lo”
“iya, eh bentar, gw dengar teman-teman yang lain mau turun kejalan menuntut agar harga BBM kembali diturunkan ya?”
“iya, ini kami lagi di flyover, seenaknya saja Pemerintah menaikkan harga, ga mikir rakyat apa”
“Buset kalian lagi demo?
“iya, pertanyaan gw apa positifnya?” *Awal lagi ga mood basa basi kyknya*
“Wah2, gini Wal, gw ngerti lo dan teman-teman yang lain lagi pada geram, tapi medesak agar pemerintah merubah keputusannya, adalah sesuatu yang cukup mustahil bakal terwujud. Mungkin harus disadari, kebijakan ini erat kaitannya dengan keteraturan kehidupan yang skalanya sangat global, ibarat sebuah LINGKARAN BESAR, lingkaran tersebut dapat berputar karena komponen-komponen yang ada di dalamnya menjalankan fungsinya masing-masing. Bisa dibayangkan, ketika ada satu saja komponen yang ga fungsi, maka putaran lingkaran tersebut akan mengalami ketidakstabilan, bahkan mungkin untuk lebih lebaynya dapat terjadi chaos
“Terlepas dari lingkaran yang lo maksud, tentu sebagai negara yang besar, negara ini mampulah mengatur hidupnya sendiri, negara ini tidak butuh lingkaran besar itu, negara ini bahkan bisa lebih besar dari lingkaran yang lo maksud” *Awal ngotot argumen*
“Yoyoi bro, tanpa lingkaran yang gw maksud, negara ini memang bisa berdiri sendiri, tapi pertanyaannya, apa masyarakat negara ini sudah siap hidup di luar lingkaran itu? Apa masyarakat negara ini sudah cukup ikhlas tanpa mengendarai mesin-mesin yang dibuat anggota2 lingkaran tersebut? Apa masyarakat negara ini sudah? Ga usah jauh2, apa lo sudah cukup siap tidak menggunakan Handphone yang lo gunakan message gw sekarang?
“hah apa sejauh itu cuy?”
“iya, sejauh itu, masyarakat negara ini adalah masyarakat yang plin-plan menurut gw, disatu sisi membenci liberalisme namun disisi lain tidak berani memerkantilisasi diri mereka sendiri, ini yang gw maksud menjelaskan persoalan ini secara mikro maka ga akan jelas tanpa mengaitkannya pada level makro”
“apa berani negara ini keluar dari lingkaran? Jangankan melaksanakan, memikirkannya pun sepertinya sulit dilakukan”
“oke, anggaplah sekarang negara ini terjebak lingkaran setan yang lo maksud, tapi apa tidak ada alternatif lain selain menaikkan harga BBM?”
“ini bukan soal alternatif lain ada atau tidak Wal, ini soal efisiensi waktu, karena cepat atau lambat harga BBM memang harus dinaikkan. Negara ini bukan negara kaya seperti negara2 lain yang terangkum dalam lingkaran. Negara ini negara yang sedang mencoba kaya dan parahnya berlaku ala negara kaya. Wal, dalam kaitannya dengan produktifitas sumber daya mineral, negara ini bukan negara produktif tapi konsumtif. Untuk menkonsumsi minyak, negara ini harus membeli dari negara2 produktif. Logikanya adalah, jika negara ini membelii minyak dengan harga mahal, apa etis menjual barang hasil pembeliannya itu dengan harga murah. Kebutuhan negara ini bukan cuma minyak, tapi ada hal2 primer lain yang tidak bisa diabaikan”
“Ibarat lo, Ramon, Zaenab, Munaroh, Ridwan, dan Zubaedah, kalian punya uang 500 ribu yang harus kalian putar untuk hidup kalian selama 5 tahun. Kalian sepakat memilih Ridwan untuk memimpin kalian, maka Ridwan punya tanggung jawab terhadap nasib kalian. Salah satu tanggung jawab Ridwan adalah menyediakan kalian beras sebagai konsumsi kalian setiap hari. Beras sangat sedikit di tempat kalian, sehingga Ridwan harus membeli beras dari tempat tetangga yang merupakan para penghasil beras. Yah anggap saja harga beras berkisar 350 ribu. Uang 500 ribu, sebagian tentu tersita akibat ulah si beras, uang kalian bersisa 150 saja. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Ridwan tidak tega membebani kalian untuk membeli kembali beras yang telah Ridwan beli dari tetangga sebelah. Idealnya dan seharunya, adalah kalian harus membeli beras itu dengan harga yang pantas agar kekurangan 350 ribu kalian tetap terjaga. Namun karena ketidaktegaan Ridwan tadi, sebagai pemimpin dia menjual murah beras itu ke kalian.  Sebagai penutup kekurangan 350 ribu, Ridwan menggunakn sisa 150 ribu yang ada. Ada yang mengganjal, karena tempat yang kalian tinggali ternyata tidak memiliki lampu sebagai penerang malam. Kalau sudah begitu, tentunya sisa 150 ribu akan semakin berkurang. Sebenarnya tidak ada masalah, dengan pengurangan itu, namun bukankah lebih baik kalau sisa 150 yang ada, kalian gunakan untuk keperluan lain? Daripada mengalokasikan dana 150 ribu untuk menutup kekurangan 350 ribu, mengapa tidak digunakan untuk mengolah lahan saja agar bisa mencipta beras sendiri? Itupun mengolah lahan perlu penerangan, uang penerangan dari mana? Ya dari 150 ribu ! tapi gimana ceritanya kalo 150 ribu harus dipangkas lagi gara2nya Ridwan tidak tega melihat kalian mengeluarkan sedikit uang untuk menutupi kekurangan 350 ribu ! *ngitung gini gw kaya orang cina aja*
Persoalan Ridwan dan teman2nya di atas adalah persoalan sistem yang telah membentuk kehidupan mereka sebegitu rupa. Kehidupan ala Ridwan di atas sebenarnya baik, seandainya kawan2 Ridwan mau mengerti dan bersabar menanti 150 ribu betul2 dipergunakan untuk membangun lahan agar dapat mencipta beras sendiri. Namun masalahnya, teman2 Ridwan telah terlanjur terbuai sehingga merasa tidak perlu untuk bersabar. Sistem ala Ridwan tentu dapat mereka rubah, sangat dapat malah, andai saja Ridwan dan teman2nya mau membuat cara sendiri. Caranya bagaimana? Ya, mereka harus keluar dari LINGKARAN BESAR..
Pertanyaannya, siapkah penghuni negara ini untuk keluar dari lingkaran? Hah, coba tanyakan saja pada piranti2 lunak dalam gadget kalian..
Lama gw berbincang dengan Awal, hampir 4 tahun perbicangan seperti ini tidak terjadi lagi. Memang, setelah kami berpisah, kontak intelektual sudah jarang ada lagi, kalopun ada, banyolan alakadarnya saja yang masih menunjukkan bahwa kami pernah seapartemen.
Kenaikan harga BBM membuat manusia-manusia disekeliling gw semakin dan semakin tidak tau apa yang pernah dipikir Tales, bukan tidak tau, tidak mau tau malah, apa gunanya berfikir ala Tales yang sisi praktisnya tentu tidak akan kembali meredakan tensi perbincangan BBM yang gw mulai bosen mendengarnya.
Well, telah banyak kesepakatan bersama para anak manusia, dimulai ketika Tales menyampel air sebagai sumber segala sesuatu, berlanjut 4 abad setelahnya Socrates yang sangat disayangkan tidak meninggalkan satupun karya tulis pendukung geniusitasnya. Plato dan Aristoteles sebagai pendidih otak-otak manusia sesudahnya. Kekakuan gereja di abad pertama Masehi yang terus terkaku hingga lahirnya istilah renaisans. Sistem pasca feudalisme yang dianggap Marx sebagai penghambat bagaimana manusia bermanusia. Semua hal ini karena kesepakatan bersama, gw ulang lagi, kesepakatan bersama yang diakibatkan goresan-goresan tinta di atas kertas. Bayangkan saja, akibat sebuah tinta yang dituang Franklin, Amerika akhirnya lahir, akibat tinta yang dituang PBB (Perserikatan Boneka-Boneka) Isra’el akhirnya lahir. Akibat tinta yang dituang Jokowi, Awal akhirnya turun ke jalan memeriahkan demokrasi. Adalagi, akibat tinta, akhirnya kalian semua punya ijazah yang bisa kalian gunakan buat mengisi perut. Walaupun terdapat kesepakatan yang tidak membutuh tinta, namun patut diakui, kespekatan hitam di atas putih nyatanya membuat manusia2 sekarang sama sekali ga butuh pemikiran ala Thales. Kalau sudah begitu apa Tinta akan tetap menunggu Thales balik dari New York?

Nb: ngomong-ngomong gw ngomong tidak mewakili siapa-siapa, ini semua murni karena Tales yang cuma gara-gara air namanya selalu disebut-sebut.