Tuesday, November 13, 2012

terencana tapi tidak terencana

Muda, tampan, dan kaya raya adalah tiga kategori yang mungkin semua orang menginginkannya. Ya, hidup berkecukupan tanpa harus membingung diri dengan segala pelik permasalahan hidup.

Hmm saya mungkin tidak kaya raya, namun masih muda dan sedikit tampan untuk ukuran orang-orang sok tampan (hah) sedang berfikir dan terus berfikir untuk menjadi manusia yang hidup tanpa gerayangan masalah pelik.

Dua minggu yang lalu saya masih dikota ini merencana akan berkunjung kerumah teman di bandung. Dan memang benar setelah sekian lama berencana akhirnya saya benar2 dalam kereta menuju rumah Dibond.

Dibond ?

Iya Dibond. Kenapa?

Ga papa Jazz, bukannya Dibond teman seapartemen lo waktu di negeri Unta ?

Iya benar. Dibond sekarang sudah diIndonesia tercinta.

Setelah komitmen pengen menyelesaikan s2 dinegeri fir’aun Dibond akhirnya tidak bisa nunggu lagi, dia pun balik keIndonesia dengan status ga pengen ngelanjutin s2nya di Mesir tapi di Indonesia saja.

“ntar aja Jazz kalo s3 di luar negeri lagi, kasian si neng menunggu disini” ini kata Dibond ke saya.

Sekilas saya cuma mengiyakan ucapan dia, tapi sepintas saya juga sempat mikir kalo perkataannya barusan adalah tamparan bagi para perantau yang meninggalkan hati di negeri seberang. Ngerti ga maksud omongan saya ini apa? Maksudnya gini; para perantau seperti saya dan Dibond adalah korban kebengisan jarak yang memisahkan kami dengan pujaan hati kami. Betapa tidak, demi dalih filologi pengetahuan kami rela meninggalkan wanita-wanita kami sampai jauh kenegeri-negeri dongeng yang selalu diceritakan menjelang tidur.

Tapi baiklah, saya bukan mengeluhi keadaan, sampai detik inipun saya masih merasa kalau jarak memang betul-betul tegas memisahkan saya dengan Ibeng. Kemarin masalah saya waktu di Mesir cuma satu yaitu bentangan batu-batu benua yang terangkum dalam kata jarak, pun setelah di Indonesia bebatuan dan rumput antar pulau seakan lebih melegitimasi perjodohan saya dengan jarak. Oh apakah ini yang disebut hubungan jarak jauh, LDR yang sering dibincang di stand up-stand up comedi tivi-tivi swasta.

LDR itu bawaannya galau, murung, sedih, dan menganggap sunyi sebagai momok pelengkap suasana. Iya saya setuju dan sangat setuju kalo hal itu disematkan ke jaman percintaan waktu kakek saya masih abege. Sekarang bisa saya katakan hal itu bukan zamannya lagi, teknologi sudah menghapus itu semua. Apa coba yang tidak ditangani teknologi saat ini. Galau tinggal SMS, Telepon, Skype, bahkan sky fall udah tayang tuh di bioskop *maksud lo apaan sky fall*

Sekarang saya udah di Jogja lagi dan kembali menerawang perjalanan tak terencana tapi seperti terencana beberapa hari kemarin. Seperti yang saya bilang diparagrap ketiga dari tulisan ini, setelah merencana mengunjungi kawan lama, akhirnya memang benar rencana itu betul-betul terjadi. Rabu malam yang sejam lagi akan tengah malam saya ke Station kereta Tugu dibilangan simpang malioboro. Tertera ditiket pukul 23:15 kereta api yang akan saya tumpangi mulai bertolak menuju bandung. Mendadak tepat waktu saya sudah di Station stengah jam lebih awal dari jam keberangkatan kereta.’ iyalah datang sejam setelah keberangkatan itu namanya ketinggalan kereta cuy *jleb.


wahh saya memang datang lebih awal tidak ingin telat dan ketinggalan kereta, tapi semua tidak sesuai rencana, karena ternyata istilah delay seperti yang sering dipraktekkan beberapa maskapi penerbangan pun terjadi di alat transportasi sejak zaman penjajahan ini.

Dari pukul 23;15 rencana jam keberangkatan molor dua jam sampai 01;45 dini hari nanti. Saya tidak kesal akibat delay, karena kesalpun toh tetap tidak akan mengubah bumi ini menjadi tidak bulat. Saya tetap menikmati malam, sembari membuka halaman demi halaman buku merah karangan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno S. J… jarum jam tangan saya terus menuju larut. *suasa hening larut dalam kebisingan*

Keberangkatan kereta akhirnya diumumkan lima menit lagi akan berangkat menuju bandung *pengumuman dari bagian informasi station*

Saya memang terus menikmati beberapa lembaran dan dingin malam, namun sebenarnya hati beradu seperti berjibaku dengan kata yang disitilahkan GALAU.

Galau ?

lo lagi galau ya Jazz?

Ya galau, membuncah bagai bertarung dalam arena sunyi walau itu distation kereta yang nota bene ramai lalu lalang manusia. Saya galau karena Ibeng dipulau seberang menjudge putus akibat dia ngelarang ke bandung tapi saya tetap ke bandung. Awalnya biasa, saya menganggap ambekan wanita manja itu sangat biasa dan wajar, apalagi wanita saya ini manjanya minta ampun, saking manjanya pake garem dan sedikit lombok biji nikmat banget dah pokoknya *itu mangga kali gobloy bukan manja* haha iya manja maksud saya.

Saya galau karena Ibeng marah soal kenapa harus kebandung bukannya liburan balik ketemu dia, kenapa saya seperti mentingin Dibond dibanding dia. Wah, ini bukan soal siapa yang penting kok sebenarnya, tapi soal pengennya saya bertemu teman lama tanpa maksud ngelupain seseorang yang tentunya tidak bakal saya lakukan itu.

Setelah berlanjut perjalanan malam, dengan diiringi the scientistnya Cold Play tertabuh mellow di kedua kuping saya, saya pun lelap tertidur dipojok kereta malam menuju bandung.

Dalam tidur, sejenak semua hilang tertelan malam, menjelang pagi ternyata galau seperti sedang duduk disamping saya. O yah Jogja – Bandung menghabiskan waktu kira2 8 jam, dan di delapan jam perjalanan menuju bandung pagi harinya saya masih dikereta setelah tertidur stengah malam dari jogja *perjalanan dari jogja dengan kereta 01;45 perkiraan sampai bandung 10;35 dan jam tangan saya menunjuk angka 06;32* 

Hmm biasanya BBM saya ada sapaan dari Ibeng, selamat pagi kah atau sekedar sapaan seorang pacar kepada pacarnya. Kali ini BBM kosong dari sapaan itu, bukan hanya kosong nama dia pun sudah tidak ada lagi di list kontak perteman, segitunya kah sampai perteman pun harus dihapus. Ah saya adalah pemikir yang selalu mengedepankan afeksi positivisme, dan saya berfikir kalau dia sangat sayang makanya dia meremove saya dari pertemanan BB *saya kembali menikmati stengah perjalanan menuju bandung*

Ceritanya saya singkat;

Singkat cerita akhirnya waktu yang dinanti tiba, kereta saya merapat di station bandung.

Saya SMS Dibond “bond gw udah distation lo dimana?”

“gw udah dari tadi nungguin lo dipintu utara” *balesan SMS Dibond

“gw dipintu selatan dodol”

“pintu utara gobloy, bukan selatan, lo kira mau ketemu ratu pantai selatan”

Haha obrolan diatas adalah obrolan tidak penting menjelang bertemu kawan lama.

Singkat cerita lagi saya sudah dijok mobil dan Dibond sedang nyetir dalam kemacetan bandung.

“wah cuy akhirnya ketemu juga ama lo, terakhir ketemu kan dua taon lalu waktu mobil kita mogok di tengah gurun” *omongan Dibond bagai sudah terskema*

“iya cuy seperti mimpi bisa ketemu lo lagi” *ini kok jadi adegan mellow ky orang pacaran aja yak*

Halagh pokonya saya sama Dibond sudah ketemu dan saya sedang menikmati macet panas bandung bersama teman lama saya ini. *sampai sini dulu obrolannya ada kisah baru lagi neh dibawah*

“Mas bro besok kan hari lebaran idul kurban neh, nah gw mau ngajakin lo sekarang ke kampung bokap dan nyokap gw di Desa Rawa Cikijing” *Dibond membuka obrolan lain*

Iya guys, saya barusan sampai bandung bukannya istrahat dulu malah kata Dibond akan lanjut perjalanan lagi menuju kampung bapak ibunya dia.

“nyantei aja cuy ntar disana aja lo istrahat, dua hari stelah lebaran kita balik bandung lagi, tenang aja gw udah menskema skedule selama lo disini” *papar Dibond nenangin saya yang sedang keletihan karena perjalanan kereta malam tadi*

gw ga ada masalah bond lo mau nyetir sampe papua sekalipun gw ga ada masalah, masalah gw cuma satu si Ibeng diseberang sana sedang diam-diaman *nyantai jazz, wanita ngambek biasa kok nikmati aja perjalanan lo sekarang*

Well, Hari itu saya betul merasakan lelah sebuah perjalanan, bukan seperti lelah ketika saya membelah benua dari Mesir menuju Indonesia, tapi lelah akibat keencokan pinggang setelah duduk terlalu lama, bayangin aja delapan jam duduk dalam kereta, berlanjut delapan jam perjalanan menuju kampung bapaknya Dibond, sebenarnya bukan 8 jam sih, tiga jam doang sebenarnya tapi karena macet pengaruh besok lebaran akhirnya perjalanan kami menuju desa rawa tempat bapak emak Dibond berdiam kami tempuh delapan jam .. Ya, 8 + 8 = 16.. itu artinya 16 jam saya duduk dan Ibeng lagi ngambek diseberang sana.

Semua masih biasa, saya tetap menganggap dia ngambek adalah bentuk balutan manja yang memang tersemat kenaluri setiap wanita. Tapi semua mulai menjadi tidak biasa, setelah menunaikan shalat ied saya menelpon dia sekedar basa basi lebaran ala kebanyakan yang dilakukan orang-orang.

“Dingin”, telepon saya tidak diangkat bahkan direject berulang-ulang. Wah dia benar-benar marah karena keberadaan saya disini, *gumam saya*

Saya SMS; “sayang ini kan hari lebaran”

Balesan sms dari dia: “tidak ada balasan” *kalo ga ada ga usah ditulis gobloy*

Ya, Ibeng seperti menyeriusi kemarahan dia dengan menunjukkan betapa rejekan teleponnya adalah pertanda dia benar-benar angkuh dalam marahnya *kalo lo kebandung kita putus* isi sms dia sebelum saya ke bandung..

Apa saya tenang ? tenang mungkin tidak, tapi sok tenang iya. Dengan ke-sok tenangan saya itu, Dibond menghampiri saya ngajakin main PS. Hmm ajakan Dibond berasa tepat disaat kalut sedang berfikr menuju galau.

“woe ngelamun aja, nah sambil nunggu hidangan lebaran gimana kalo kita tanding PS dulu? Oke ga”

“ayo cuy, masih berani lo ama gw” *saya sering ngalahin dia main PS waktu diMesir dulu*

“halagh hayuk” *timpal Dibond nyodorin stik PS 3*

Mungkin ini yang saya maksud tak terencana tapi seperti terencana, main PS saya seperti lupa sedang bermasalah dengan Ibeng.

“eh cuy skedul hari ini, setelah makan dan main PS kita jalan kerumah bang Andri, terus stelah dari rumah bang Andri kita ke pesantren gw, stelah liat-liat pesantren kita jalan ketemu pacar gw terus makan dan kalo lo ga keberatan kita nonton *lagi-lagi paparan Dibond menjelaskan skedul kami hari ini sambil main PS*

“Hah ga salah lo bond nonton, lo bedua ma pacar lo dan gw sendiri buset yang bener aja cuy hah”

“ya elah cuy, lo enjoy aja tapi kalo lo keberatan ga usah nonton deh kita jalan-jalan aja tapi tetap ama pacar gw ya” *Dibond nyengir seperti ikan arwana*

“saya tidak masalah bond, mau nonton kek mau jungkir balik kek mau merakit bom kek saya tidak masalah, sekali lagi masalah saya cuma satu yaitu jarak yang terus-terus menegaskan Ibeng sedang diam-diaman dengan saya” *celoteh saya dalam hati*

Dan semua telaksana hari itu, setelah bertemu bang andri senior saya waktu diMesir kami juga berkunjung ke pesantren Dibond, shalat Ashar dan cipika cipiki dengan beberapa guru-guru semasa Dibond masih bocah, saya bareng Dibond akan menjemput pacarnya dia. O iya saya pernah cerita dipostingan yang lalu yang ketika masih di Mesir, cerita tentang Dibond dan pacar jarak jauh sodaranya James Bond ini, waktu itu mereka sedang LDRan. Wahh perasaan baru kemaren mereka LDRan sekarang saya malah jadi salah satu aktor penjemput dia disore itu widddih huahahu.

Eniwei, saya singkat lg neh cerita;

Kami sudah bertiga didalam mobil, Dibond nyetir mobil, saya disamping Dibond dan pacarnya duduk dibelakang sepeti perempuan yang sedang disekap dua penculik untuk dibawa kabur ke hutan tomat.

Hmm kali pertama saya kenal langsung pacar Dibond, namanya Esa lengkapanya Yang Maha Esa lebih lengkapnya lagi Maia ESAtianti… Huehehe tidak kok, lengkapnya saya tidak tau yang saya tau namanya memang Esa. Esa tidak sepeti yang dicerita Dibond ketika masih diMesir kemarin, bahwa pacarnya ini dingin cool dan irit banget kalo ngomong. Ternyata tidak, Dibondnya saja yang tidak tau membuat susana tidak garing itu ky gimana. Saya tidak bilang suasana kami garing saat itu tapi memang Esa kalo tidak ditanya dia tidak bakal ngomong apalagi teriak. Makanya itu mengobrol dengan obrolan pemancing omongan itu penting adanya, sebagai contoh;

“eh nama lo Esa ya, kok bisa sih dipanggil Esa” *ini masih biasa dan jawabannya pasti biasa seperti; “yah emang gitu kali”

Atau ini; “eh Sa kemaren liat tabrakan yang ditipi itu ya?” *ini juga masih biasa dan jawabannya pasti masih biasa seperti: “ga kenapa emang?

Ini neh obrolan pemancing yang tidak biasa: “eh Esa kalau tiba-tiba si Dibond menjadi gila detik ini juga menabrak beton dan kita bertiga mati lo mau mati ky gimana?” *saya yakin (ga beigtu yakin sih) jawabanya pasti seperti “emm apa ya, gw ga mau mikir itu ah ada-ada aja” Nah, iya kan kalian saja yang baca postingan ini pasti berfikir ky Esa barusan, hayo tidak usah bohong ini cuma celoteh tidak penting kok biar suasana dalam mobil perjalanan kami tidak garing seperti yang selalu dikata Dibond..

Keberadaan saya sekarang bareng Dibond bukan suatu kebetulan, namun hadirnya Esa adalah kebetulan yang kalau kata saya Dibond tidak pernah cerita bakal sepeti ini skedul yang akan saya jalani selama bareng dia. Saya tau kalo kami akan jalan bertiga baru td pagi, sama sekali tidak masuk rencana ketika saya nelpon dia akan maen kebandung mengisi liburan hari raya kurban saya tahun ini. O yah kan kampungnya Dibond di desa rawa ya, nah di desa rawa itu tempat hiburan tidak ada jadi otomatis kami harus ke kota untuk dapat hiburan ala perkotaan, kebetulan kota yang terdekat adalah Cirebon *pernah dengarkan nama kota ini* itu tuh kota penghasil jeruk terbesar didunia *emang iya ya, ga tau dah cari tau aja sendiri yang jelas namanya Cirebon*

Dibond, saya, dan Esa akan mencari hiburan ke Cirebon, kami akan nonton *tepatnya bukan kami sih sebenarnya tapi Dibond ma pacarnya akan nonton dan saya orang ketiga entah pelengkap atau pengganggu acara nonton mereka.

Whateverlah, saya benar-benar sudah dalam bioskop sekarang, duduk manis dan disamping saya Dibond dan Esa, saya ngerti saya mesti duduk sendirian biar tidak terkesan mengganggu keromantisan bioskop yang mulai tecipta lewat film berjudul Perahu Kertas. Kebetulan banget yang nonton pada sepi jadi saya leluasa mau duduk dimana saja. Bioskop ini unik, karena kami bisa membawa makanan dari luar, saya seperti bioskop kebanyakan yang ada warning tidak boleh bawa makanan. Hmm nama bioskop ini apa saya tidak tau, yang jelas bisokop ini banget standart tidak berkelas. Awalnya bukan disini rencana nonton kami tapi berhubung film Perahu Kertas yang akan kami tonton dibioskop-bisokop kenamaan sudah tidak tayang lagi jadilah kami ke bioskop ini. Waha jelas banget kan, film yang ga uptodate pun masih bisa tertonton, kebayangkan kalo bisokop ini standart *saya tidak sebut merek, label dan brandnya apa, yang jelas saya sedang disbioskop yang memang standar banget*

Well, standard dan enggaknya, toh saya sekarang sedang menonton sebuah film yang berjudul Perahu Kertas sebuah film yang mengisahkan pasang surut hubungan dua anak manusia, yaitu Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken).

Kisah bermula ketika mereka berdua kuliah di Bandung. Kugy, yang bercita-cita ingin menjadi penulis dongeng, kuliah di Fakultas Sastra. Ia punya kebiasaaan unik, yaitu suka membuat perahu kertas yang kemudian dilarungkannya di sungai. Keenan, pelukis muda berbakat, dipaksa untuk kuliah di Fakultas Ekonomi oleh ayahnya.

Bersama dengan sahabat Kugy sejak kecil, Noni (Sylvia Fully R), serta pacar Noni, yakni Eko (Fauzan Smith), yang juga adalah sepupu Keenan, mereka berempat menjadi geng kompak. Dari yang semula saling mengagumi, Kugy dan Keenan diam-diam saling jatuh cinta. Tapi berbagai hal menghalangi mereka. Tak hanya itu, persahabatan Kugy dan Noni pecah ketika Kugy, demi menjaga hatinya, tak datang pada pesta ulang tahun Noni yang diadakan di rumah Wanda. Keenan akhirnya pergi ke rumah Pak Wayan (Tyo Pakusadewo), seorang pelukis teman lama Lena, sekaligus mentor Keenan melukis. Dalam suasana hati yang gundah, kreatifitas melukis Keenan buntu. Luhde (Elyzia Mulachela), keponakan Pak Wayan, berhasil mengembalikan semangat Keenan. Seorang kolektor langganan galeri Wayan bernama Remi (Reza Rahadian) menjadi pembeli pertama. Ingin cepat meninggalkan Bandung dan lingkungan lamanya, Kugy berjuang untuk lulus cepat. Begitu lulus sidang, kakak Kugy yang bernama Karel (Ben Kasyafani) membantu agar Kugy magang di biro iklan bernama AdVocaDo milik temannya, yaitu Remi. Prestasi kerja Kugy cemerlang, dan menarik perhatian Remi..

Stengah jam film tayang suasana bisokop udah mulai rame, samping kiri kanan gw yang tadinya kosong udah ada penghuninya masing-masing. Lebih parah lagi, mereka semua berdua sama pacar masing-masing, lah saya jangankan pacar minuman ama cemilan saja tidak ada, jadilah saya cuma menyandarkan tangan di kepala sesekali duduk dengan gaya frustasi ala bruce lee lg belajar bahasa jawa *maksudnya apa bayangin sendiri*

Satu hal yang dari tadi menggantung selama film ini tayang. “kok bisa ya, saya nonton film ini disini di sebuah kota yang sama sekali tidak pernah terfikir kalo saya bakal ada dbioskop ini.

Eniwei seperti kata saya diatas semua seperti terencana padahal sebenarnya tidak ternecana. Ya, jazz si pengagum Hitler bisa nonton film sampe dikota Cirebon gimana ceritanya coba.

Membuncah kangen saya tidak tenang terus mikrin Ibeng di jazirah seberang, masa iya dihari yang semestinya tawa itu tercipta kami berdua malah diam-diaman tidak saling ngomong. Ada secercah harapan mungkin *saya mulai lebay* bahwa film Perahu Kertas yang baru tertonton bareng Dibond dan Esa memperkecil pikiran saya bahwa bumi Indonesia sangatlah kecil dan sempit, pulang dan temui dia jazz *bisikan dari dalam*

“bond besok gw balik Kendari”

“hah, ngapain lo balik baru juga ketemu lo udah mau maen cabut aja”

“ga bond ada masalah serius neh”

“serius apaan sih dari tadi lo emang kusut banget”

“pokonya serius cuy, lebih serius dari masalah Foke dan jOkowi”

“terus gimana?”

“ya terus lo temenin gw beli tiket buat ke kendari besok, dan besok lo anterin gw ke Jakarta”

“wahh cuy gima sih lo, bukannya gw ga mau tapi masa iya sih baru ketemu gini lo udah mau cabut aja, mana besok lagi, besok kan gw ama bokap jadi panita kurban, ninggalin itu bokap bisa murka ke gw, lo juga tau dari sini ke Jakarta kan jauh men”

"wah bener-bener lo bond ga berprikesaabatan banget, nganter aja ga mau”

“yee cuy bukannya lo yang ga berprikesahabatan, tiba-tiba maen cabut aja”

“wahh bond bukan makud gw ky gtu tp emang ini penting banget cuy, kalo ga penting gw ga bakal ninggalin lo” *obrolan ini udah ky pacar mau ninggalin pacarnya berangkat ke medan perang*

Karena jari saya cape ngetik obrolan dengan Dibond saya hentikan, saya dan Dibond akhirnya sepakat membeli tiket pesawat buat penerbanagan besok, juga tiket kereta menuju Jakarta karena Dibond tidak bisa mengantar saya karena urusan kurban… Satu hal yang saya tidak habis pikir, seperti statement2 dalam film-film romantik bahwa kekuatan cinta mengubah segalanya. Tidak saya pungkiri ketidak tenangan saya disini karena cinta diseberang sana sedang marah alias ngambek. Apa ini kekuatan cinta, entahlah yang jelas ada dorongan kuat dari dalam agar saya sesegera mungkin kembali menemui dia.

*setengah hari kemudian*

______________Meninggalkan Dibond dan Esa pagi pukul 06:00. Dari desa rawa saya diantar Dibond menuju station kereta. Esa juga ikut mengantar, suasana pagi kota Cirebon serasa masih lembab mobil kami menembus embun dan melewati beberapa pejalan kaki. Pagi itu hari kedua setelah lebaran kemaren, para warga masih terlihat dengan kesibukan mereka mengawasi tempat-tempat penyembelihan. Satu yang pasti pikiran saya sudah lebih dulu terbang betemu dia *dari tadi saya lebay mulu yak*

Berketerusan sampai station, setelah cipika cipiki dan pelukan ala sahabat lama saya pamit ninggalin Dibond bersama Esa yang masih terlihat ngantuk.

“see u next sob” sambil berjalan memasuki pelataran station.

Sampai pada titik ini saya masih galau, dan tetap galau

“andaikan saya berteman Doremon saya tidak perlu repot2 ky gini saya tinggal lewat pintu ajaib saja, kenapa juga sih Dibond tidak jadi Doraemon saja wajahnya kan mirip yak” haha tertawa tapi ga bahak.

Well, kereta saya kali ini tepat waktu saya seperti ketika dari Jogja menuju Bandung. Saya tetap tidak tenang sepanjang jalan, di seat nomer 8 yang saya duduki, saya terus menatap keluar jendela kereta. Sesekali seperti merasa dejavu kenapa setiap sudut kereta ini seperti berubah dengan bentuk wajah Ibeng.. Menuju Jakarta sekitar satu stengah jam kereta saya ditabur hujan menjelang Gambir station of Jakarta. Dan ya, menginjak Jakarta hujan turun dengan begitu rintiknya. Tidak banyak gerakan tambahan, saya bergegas menuju Damri yang mengarah Soekarno – Hatta.

Hujan tetap dengan rintiknya beberapa supir taxi seakan mencegat saya nawarin tumpangan mau kemana. Saya tetap berjalan pikiran saya cuma satu “Ibeng sedang marah di timur Indonesia sana”.

Entah ini ujian atau bukan hujan yang menggerayangi seperti sedang dijodohkan Tuhan dengan macet kota Jakarta.. Gedung pencakar langit dan papan-papan reklame raksasa yang saya lihat dari balik kaca seakan menambah pekat galau, seperti wajah dan raut muka Ibeng di gedung dan papan-papan tersebut. Hah segitu pengennya saya cepat ketemu dia dan bilang jangan marah lagi.

Hujan terus mengguyur yang kadang rintik kadang lebat, tidak menyadarkan saya kalau gw udah terbang separuh Indonesia, beberapa menit lagi pesawat yang saya tumpangi akan segera mendarat di Haluoelo Airport of Kendari. Tapi entah ini pengaruh galau atau kebelet saya merasa bagai berjam-jama besi terbang ini akan mendarat …

Ahh tidak banyak bicara, tidak banyak gaya saya sudah turun dari pesawat membelah malam menuju rumah Ibeng, betapa membuncah kangen yang pengen saya bagi. Tanpa assalamualaikum saya masuk rumah dia

“eh itu siapa kok mirip Jazz” *mama Ibeng sedikit ragu melihat saya tiba-tiba muncul*

“itu memang Jazz mah” *kakak Ibeng meyakinkan padahal juga sedikit tidak percaya*

"Itu kamu Jazz??"

"Iya mah, ini saya *sambil nyengir kelelahan berbalut kangen*

"Kamu balik tiba-tiba kenapa ?"

"Ada ibeng ga ma ? "

"Ada, bentar yah nak"

Sekilas percakapan saya yang masih galau padahal sudah dirumah Ibeng. Dan, ketika Ibeng keluar dari kamar “…….Ibeng diam seakan tidak percaya saya dirumahnya sekarang”

“jangan marah lagi ya” *saya sambil natapin wajah dia*

Well, guys saya tidur dulu senang bertemu Ibeng dengan raut wajahnya yang selalu buat saya kangen dari kejauhan.